Body Dysmorphic Disorder
Saraswati Pramita
| 12-06-2025

· Science Team
Body Dysmorphic Disorder (BDD) atau Gangguan Disforia Tubuh merupakan kondisi kejiwaan serius yang ditandai oleh rasa cemas berlebihan terhadap kekurangan fisik yang sebenarnya tidak nyata atau sangat kecil jika dilihat oleh orang lain.
Obsesi ini menyebabkan penderitaan mendalam dan mengganggu berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan sosial hingga kinerja kerja. Diperkirakan sekitar 2% populasi umum mengalami BDD, dengan gejala sering muncul saat masa remaja atau awal dewasa, periode penting dalam pembentukan citra diri.
Gejala Klinis: Ketika Cermin Menjadi Sumber Kecemasan
Penderita BDD biasanya terjebak dalam perilaku berulang seperti berkaca terus-menerus, merapikan penampilan secara ekstrem, memencet kulit, atau terus-menerus mencari kepastian dari orang lain mengenai penampilannya. Meski tindakan ini memberikan rasa lega sementara, perilaku tersebut justru memperkuat siklus obsesif-kompulsif yang menyiksa.
Berbeda dengan rasa tidak percaya diri biasa, kekhawatiran dalam BDD bersifat intens, menetap, dan terfokus pada bagian tubuh tertentu seperti hidung, kulit wajah, atau rambut. Salah satu tantangan dalam diagnosis adalah membedakan BDD dari gangguan lain seperti kecemasan sosial atau OCD. Namun, BDD memiliki ciri khas utama yaitu obsesinya terhadap penampilan fisik.
Menurut dr. Emily Vargas, seorang psikiater yang menangani gangguan citra tubuh, “BDD merupakan persilangan unik antara persepsi visual yang menyimpang dan perilaku kompulsif, sehingga membutuhkan strategi klinis yang spesifik.”
Mekanisme Otak: Apa yang Terjadi di Balik Pikiran Penderita BDD?
Penelitian neuroimaging menunjukkan bahwa individu dengan BDD mengalami aktivitas berlebih di area visual otak bagian kiri, terutama di gyrus temporalis inferior, yang berperan dalam menganalisis detail visual. Hal ini menyebabkan penderita fokus pada ketidaksempurnaan kecil dibandingkan melihat keseluruhan wajah secara utuh.
Di samping itu, bagian otak yang berkaitan dengan kebiasaan dan kontrol impuls juga menunjukkan aktivitas yang tidak seimbang. Inilah yang menjelaskan mengapa penderita merasa sulit menghentikan kebiasaan mereka, meskipun mereka sadar bahwa perilaku tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari.
Dampak Sosial dan Emosional: Lebih dari Sekadar Penampilan
Dampak BDD sangat luas, mencakup isolasi sosial, depresi, bahkan peningkatan risiko pikiran menyakiti diri. Banyak penderita menghindari pergaulan karena malu dengan penampilannya, dan sebagian mengalami gangguan dalam pekerjaan karena waktu yang tersita untuk ritual pribadi.
Sayangnya, stigma sosial dan kurangnya pemahaman membuat kondisi ini sering dianggap remeh. Banyak orang mengira penderita hanya “terlalu memperhatikan penampilan,” padahal sesungguhnya mereka mengalami penderitaan mental yang berat.
Tantangan Diagnosis: Mirip Tapi Tak Sama
BDD memiliki gejala yang tumpang tindih dengan berbagai gangguan psikiatri lainnya. Berbeda dari anoreksia nervosa yang fokus pada berat badan dan bentuk tubuh, BDD bisa melibatkan bagian tubuh mana pun dan tidak terkait dengan pola makan.
Menariknya, tidak semua penderita menyadari bahwa pikirannya keliru. Sebagian bahkan sangat yakin dengan "cacat" yang mereka lihat, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu, panduan diagnostik modern membedakan BDD berdasarkan tingkat kesadaran penderita terhadap kondisi mereka, karena hal ini akan memengaruhi hasil terapi yang diberikan.
Strategi Pengobatan: Pendekatan Multifaset yang Disesuaikan
Terapi Perilaku Kognitif (CBT) yang dirancang khusus untuk BDD terbukti menjadi pendekatan psikologis paling efektif. Terapi ini berfokus pada perubahan pola pikir yang merusak dan perilaku kompulsif, sekaligus melatih kembali persepsi visual yang menyimpang.
Salah satu teknik inovatif adalah mirror retraining, di mana pasien diajarkan untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dan mengurangi kebiasaan berkaca secara berlebihan.
Dari sisi farmakologis, Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) menjadi pilihan utama karena dapat meredakan pikiran obsesif dan menurunkan kecemasan. Penelitian terbaru juga mengeksplorasi pengobatan dengan modulator glutamat, membuka potensi baru dalam penanganan BDD.
Dr. Harold Kim, seorang psikiater yang fokus pada gangguan obsesif-kompulsif, menegaskan bahwa, “Dengan kompleksitas dan tingginya kemungkinan gangguan penyerta, penanganan BDD harus disesuaikan dengan kondisi unik tiap individu.”
Masa Depan Penanganan BDD: Dari Otak Hingga Genetik
Dunia medis kini mulai mengeksplorasi metode baru seperti transcranial magnetic stimulation (TMS) suatu teknik non-invasif yang dapat memengaruhi aktivitas otak di area tertentu. Beberapa studi awal menunjukkan hasil yang menjanjikan bagi penderita yang tidak merespons pengobatan biasa.
Selain itu, studi genetika dan epigenetika sedang dikembangkan guna mengidentifikasi faktor keturunan yang meningkatkan kerentanan terhadap BDD. Penemuan ini berpotensi membawa dunia medis ke arah pengobatan presisi, yaitu penanganan berdasarkan profil biologis unik pasien.
Gangguan Disforia Tubuh bukan sekadar urusan estetika. Ini adalah kondisi kompleks yang memengaruhi cara seseorang melihat diri sendiri dan berperilaku terhadap penampilannya. Kemajuan dalam ilmu saraf dan terapi memberikan harapan baru, namun kunci utama tetap pada peningkatan kesadaran, edukasi, dan intervensi dini agar penderita dapat kembali menjalani hidup dengan percaya diri dan sejahtera.