Penyebab Pica
Delvin Wijaya
| 12-06-2025

· Science Team
Mungkin terdengar aneh atau tak masuk akal, tetapi ada kondisi psikologis yang membuat seseorang secara terus-menerus mengonsumsi benda-benda yang tidak memiliki nilai gizi sama sekali, seperti sabun, kapur, tanah liat, rambut, kertas, hingga es batu.
Kondisi ini dikenal sebagai Pica, dan meskipun terdengar seperti kebiasaan unik, kenyataannya bisa membawa dampak serius bagi kesehatan fisik maupun mental.
Menurut Dr. Maria Klein, seorang psikolog klinis dari Universitas Stanford yang fokus pada gangguan perilaku, Pica sering kali tidak terdeteksi karena penderitanya merasa malu dan menyembunyikan perilakunya. Padahal, perilaku ini bisa menjadi indikator adanya gangguan yang lebih dalam, baik dari sisi kesehatan mental maupun kekurangan nutrisi yang signifikan.
Bukan Sekadar Kebiasaan Aneh: Inilah Penyebab Tersembunyi di Balik Pica
Pica bukan hanya tentang keinginan aneh untuk makan sesuatu yang tak lazim. Dalam banyak kasus, Pica berakar pada defisiensi mineral seperti kekurangan zat besi atau seng. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kondisi ini jarang disebabkan oleh satu faktor saja.
Pica juga sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan, kecenderungan obsesif-kompulsif, atau bahkan terjadi selama masa kehamilan. Pada anak-anak, perilaku ini mungkin muncul sebagai bagian dari eksplorasi usia dini. Tetapi jika berlangsung lama, bisa jadi itu merupakan tanda adanya trauma emosional, pengabaian lingkungan, atau gangguan psikiatri lainnya.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Behavioral Health tahun 2024 mengungkap bahwa Pica dapat berkaitan dengan gangguan pada sirkuit saraf yang mengatur kontrol impuls. Temuan ini mengubah cara pandang terhadap Pica, dari sekadar kebiasaan ganjil menjadi kondisi kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor biologis, lingkungan, dan psikologis.
Pica di Berbagai Belahan Dunia: Ketika Budaya dan Medis Bertabrakan
Ekspresi Pica berbeda-beda di setiap budaya. Di beberapa wilayah, konsumsi tanah liat atau tepung kanji merupakan bagian dari tradisi lokal, sehingga sulit membedakan antara kebiasaan budaya dan gangguan klinis.
Contohnya, di beberapa komunitas di Afrika dan bagian selatan Amerika Serikat, konsumsi tanah liat oleh wanita hamil telah dilakukan turun-temurun dan dianggap normal. Namun, ketika kebiasaan ini menjadi kompulsif, dilakukan secara berulang, dan tidak lagi terkait dengan budaya, maka perlu dipertimbangkan sebagai masalah kesehatan yang memerlukan perhatian medis.
Bagi para praktisi kesehatan, memahami konteks budaya menjadi sangat penting dalam menilai apakah perilaku tersebut masih dalam batas wajar atau sudah masuk ranah gangguan.
Bahaya Mengintai dari Benda Sehari-hari
Banyak benda yang dikonsumsi oleh penderita Pica ternyata mengandung zat beracun atau kontaminan berbahaya. Misalnya, kapur, tanah, sabun, atau serpihan cat tua bisa mengandung timbal dan zat kimia lainnya. Jika dikonsumsi dalam jumlah besar atau terus-menerus, zat-zat ini dapat menumpuk di dalam tubuh dan memicu berbagai masalah kesehatan.
Beberapa kasus menunjukkan anak-anak yang harus dirawat di rumah sakit akibat memakan rambut atau plastik, yang menyebabkan penyumbatan di saluran pencernaan. Risiko akan meningkat jika benda yang dimakan bersifat tajam, sulit dicerna, atau bereaksi secara kimia dalam tubuh. Semakin lama kondisi ini tidak ditangani, semakin besar kemungkinan komplikasi serius muncul.
Diagnosis dan Terapi: Bagaimana Pica Ditangani Secara Modern
Untuk mendiagnosis Pica, tenaga medis tidak hanya melihat pola makan yang tidak biasa. Faktor durasi (umumnya minimal satu bulan) dan konteks usia juga menjadi pertimbangan—misalnya, eksplorasi mulut pada balita dianggap normal dan berbeda dari Pica.
Proses diagnosis biasanya melibatkan penilaian nutrisi dan evaluasi psikologis guna mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya. Penanganan Pica pun bersifat multidisipliner. Terapi perilaku kognitif (CBT) terbukti efektif dalam mengalihkan dorongan kompulsif, sementara suplemen nutrisi dapat membantu mengatasi kekurangan mineral yang mendasarinya.
Dalam beberapa kasus, intervensi farmakologis juga dibutuhkan, terutama jika pasien memiliki gangguan kesehatan mental lain yang menyertai. Dr. Steven Adler, seorang psikiater dari Yale Medical School, menyatakan bahwa penanganan paling efektif adalah yang menyentuh aspek fisik dan emosional dari perilaku tersebut.
Masa Depan Penanganan Pica: Teknologi dan Ilmu Saraf Bekerja Sama
Penelitian terbaru mulai mengarah pada hubungan antara usus dan otak. Beberapa ilmuwan menduga bahwa ketidakseimbangan mikrobiota dalam sistem pencernaan bisa memicu keinginan untuk mengonsumsi benda tak lazim.
Di sisi lain, jalur dopamin dan serotonin, dua zat kimia penting dalam otak juga sedang diteliti lebih lanjut karena diduga terlibat dalam perilaku kompulsif yang terkait dengan Pica.
Dengan berkembangnya teknologi seperti perangkat wearable dan aplikasi pelacak perilaku, masa depan penanganan Pica kemungkinan akan melibatkan pemantauan real-time terhadap dorongan makan tidak biasa, sehingga intervensi bisa dilakukan lebih awal dan lebih personal.
Pica bukan sekadar perilaku ganjil yang bisa dianggap sepele. Di balik dorongan makan benda tak lazim itu, terdapat perjuangan internal yang nyata, baik dari segi psikologis maupun biologis. Pica bisa menjadi sinyal adanya masalah yang lebih dalam, dan memahami kompleksitasnya adalah langkah awal untuk memberikan dukungan yang tepat.